Hobby, Racauan

Pernyataan Jujur Tentangmu, Yang Terhormat

Sebut saja namanya Ibu Iffa. Beliau memberikan beberapa mata kuliah wajib dan beberapa mata kuliah pilihan di kampusku. Sekitar tiga minggu yang lalu, aku dan teman sebelahku terciduk mengobrol walaupun yang sedang kulakukan adalah menunjukkan sebuah tugas yang diupload dosen di situs akademik fakultas kepada temanku. Beliau merasa terganggu. Aku memaklumi hal itu, namun entah seberapa banyak rasionalisasi yang berusaha kulontarkan, ada sesuatu yang membuat kejadian itu terus menerus berputar di otakku.

Aku tidak merasa bersalah karena aku tidak melakukan apa yang beliau tuduhkan dan aku paham kenapa beliau dapat menuduhkan demikian. Oh, ya – dan aku ingat beliau melontarkan pendekatan psikoanalisis Freud, “Barangkali mbaknya tadi tidak bisa menghargai orang lain karena pengalaman masa lampau atau lingkungan tempat tumbuhnya.” Ouch! Yes, I feel ‘ouch!’ Tapi aku paham beliau sedang mencoba membuat contoh yang dekat agar mahasiswa lebih paham dan di sisi lain masih merasa kesal sehingga harus melampiaskannya. Continue reading “Pernyataan Jujur Tentangmu, Yang Terhormat”

Slice of Life

Sensasi Menjelang Deadline

Minggu ini adalah masa tujuh hari menuju ujian tengah semester anak fakultas Psikologi. Empat dari tujuh mata kuliah yang kuambil kebetulan bentuk ujiannya berupa tugas take-home, jadi mungkin secara logis, seharusnya aku merasa senang karena tidak harus belajar dan menghapalkan materi yang diujikan. Tapi sejujurnya aku merasa mual. Bukan sekadar analogi saja, tapi benar-benar mual. Ada perasaan menggelitik di perut dan sesuatu yang tercekat di tenggorokan.

Sepertinya memang untuk menjadi seseorang yang selalu terjadwal adalah suatu karakter bawaan dan tidak memiliki karakter itu. Lihat saja apa yang terjadi. Aku mencatat tugas apa saja yang harus kukerjakan berikut deadline masing-masing tugas, dan sesaat setelah aku menatapnya, aku merasa mual.

Continue reading “Sensasi Menjelang Deadline”

Slice of Life

Belajar Keluar dari Sangkar

WordPress menyahut ramah padaku dan mengatakan bahwa aku telah membuat lebih dari 100 post di sini. Hal itu membuatku sedikit berpikir. Berarti permulaan untuk menulis, yang kata orang sulit untuk dilakukan, mustinya sudah berhasil kulampaui. Dan rasanya aku memang lebih mudah menyadari struktur yang harus kau susun ketika menulis.

Dulu aku pernah berkata bahwa saran dari salah satu buku yang kubaca menyarankan pemula agar menulis untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Kurasa secara implisit, menulis untuk diri kita sendiri mengandung arti agar kita membuka diri pada diri sendiri. Barangkali aku salah, tapi kurasa dalam bahasa Indonesia, kita bisa merasakan konteks yang berbeda dalam penggunaan kata ‘saya’ dan ‘aku’ – dan orang yang enggan atau merasa malu untuk membuka diri, ketika mereka menulis, mereka cenderung menggunakan kata ‘saya’.

Kemarin aku sempat mengunjungi blog salah satu kawan SMA dan dalam sebuah kalimat, dia menyatakan bahwa “kini aku mulai menggunakan kata ‘aku'”. As if it is something important – which I also did. Aku juga pernah membuat sebuah post yang meneriakkan dengan lantang persepsi individualisku dan kaitannya dengan penggunaan kata ‘saya’ dalam post tersebut. As if I am trying hard to tell that I am very individualistic that you can notice it by the words I choose to use. Dan bagiku, itu tidak hanya terjadi sekali waktu, tapi berkali-kali. Rasanya ada sejumlah post yang nadanya menegaskan diri mengenai ‘keakuan’. Kenapa aku melakukan hal itu?

Continue reading “Belajar Keluar dari Sangkar”

Slice of Life

Trip to Panggang

I am going to a field-trip to Panggang today and will come home at Sunday afternoon. Truthfully, I am nervous right now. The class of “Metode Penelitian Kualitatif” is supposed to have the trip two weeks ago but I was sick so I have to join class of Psychology of Gender – and that means, we could say that I am an outsider here. I don’t know who else are in class of Psychology of Gender. I heard we need to do some presentation – and if it’s a group assignment, I haven’t joined any. I am worried if I end up stranded an isolated island – I don’t know the members well, so there would be awkward moments. But to think about it again, why would I get worried over awkward situations? Awkwardness happens – frequently. I don’t need to get so worked up in avoiding awkward moments. That is how I get to know new person.

But really, I am just nervous.

Slice of Life

Nervewrecking SMS at Morning

The task? No worries. I just started doing on it!

But apparently, that task has been more than four weeks old. And apparently, it’ll be used as individual material so we can contribute one two things to group. And apparently, she just started working on it today even after knowing about it two weeks earlier.

And apparently, I am the one who get assigned as the team leader. And apparently, the deadline of the poster is June 10th 2011. And apparently, no one cares enough to look for poster idea without being told (read. directed) first.

So, apparently, I am still trying to stick with principle that I am a humanistic, that I’ll understand each person differently. So maybe, my teammate feels awkward and not confident because she was absent on particular day when the task was given in the class – therefore it makes her can’t do it well. And maybe she’s also worried that she will make her teammates frustrated. It affects her performance.

You know. Judging from the words I use, apparently, I am frustrated at this point.

Don’t worry, girl. I am not mad once you get a hold on yourself back. Just hurry and done the task. Seriously, I am not good at graphic design. We still need to make summary of our journal reviews, extract some ideas for the poster, and design it. We need LOT of TIME, so the sooner you keep up with us, the better it is, and I am definitely less frustrated about this.. *cries*

Study Notes

[COLLEGE] Review Jurnal: Menangani Anak dengan Perilaku Mengganggu

Tugas Review Jurnal –

Nama Mahasiswa: Annisa Nuriowandari

NIM: PS05748

Mata Kuliah: Dasar-Dasar Konseling

 

Judul Jurnal: Decreasing Elementary School Children’s Disruptive Behaviors: A Review of Four Evidence-Based Programs for School Counselor; Mengurangi Perilaku Mengganggu pada Anak-Anak Sekolah Dasar: Resensi dari Empat Program Intervensi Untuk Konselor Sekolah (Jurnal Volume 8 Nomor 4)

Penyusun: Blaire Cholewa dari Kean University; Sondra Smith-Adcock dan Ellen Amatea dari University of Florida

1.    Latar Belakang Teori/Tujuan:

Artikel ini bermaksud untuk memberikan rangkuman dan gambaran mengenai empat program intervensi yang terbukti efektif dalam menangani anak-anak dengan perilaku disruptive atau mengganggu. Di sini dibahas pula kaitannya dengan peran dan ketrampilan yang dimiliki oleh para konselor sekolah.

Dasar review dalam artikel ini adalah penemuan bahwa penanganan permasalahan perilaku anak dengan metode pemberian konsekuensi (hukuman) secara koersif cenderung kurang efektif (Dupaul dan Stoner, 2003) dan terkadang justru menimbulkan efek negatif seperti memperkuat perilaku mengganggu itu sendiri (Patterson, Reid, Jones, & Conger, 1975; Patterson, Reid & Dishion, 1992) sehingga perlu ditemukan metode intervensi lain yang lebih efektif.

2.    Metode:

Dari 26 program intervensi valid, dipilih 6 program intervensi dan dari 6 program intervensi, program The Seattle Social Development Project (SDDP) dikeluarkan karena merupakan program terdahulu dari program Raising Healthy Children, salah satu dari 5 program lainnya, sementara program Classroom Centered/Family School Partnership Intervention dikeluarkan karena baru diujicobakan di sekolah-sekolah yang berada di Baltimore sehingga 4 program intervensi yang menjadi bahan review adalah program Linking the Interest of Families and Teachers (LINK), Fast Track/Paths, Raising Healthy Children (RHC), dan The Incredible Years (IY).

Penyeleksian ini dilakukan oleh 3 pihak yaitu Terzian dan Frazier (2005), Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP; Kantor Penegakan Keadilan dan Pencegahan Kenakalan Remaja) (1999), Center for Substance Abuse Prevention (CSAP; Pusat Pencegahan Penyalahgunaan Obat-Obatan). Seleksi ini dilakukan berdasarkan beberapa kriteria inklusi tertentu: a.) kemungkinan penerapannya oleh konselor dan personil sekolah, b.) tingkat efektivitasnya pada populasi yang berbeda, dan c.) tingkat aksesibilitas serta kemudahan penggunaan.

Dalam masing-masing analisis penelitian yang mendasari rancangan tiap program, digunakan berbagai metode analisis yaitu: metode survival analysis dan metode regresi random terstandar pada program LINK; model campuran antara dua level (analog hingga analisis kovarian/ANCOVA) dan modeling analisis linear pada program Fast Track; studi analisis multi-varian pada program RHC; dan ANCOVA pada program Incredible Years; serta beberapa metode analisis lainnya.

3.    Hasil dan Pembahasan:

Hasil analisis review dapat diuraikan sebagai berikut:

Program LINK (Linking the Interest of Families and Teachers)

Hasil dari ujicoba program LINK menunjukkan tingkat efektivitas tinggi berdasarkan adanya perbedaan statistik yang signifikan antara kelompok eksperimen (partisipan program) dengan kelompok kontrol pada aspek agresivitas fisik oleh anak terhadap teman sepermainan, menurunnya sikap permusuhan orangtua selama diskusi problem-solving dalam keluarga, serta meningkatnya kesan guru terhadap perilaku anak selama di kelas. Studi berkelanjutan selama 3 tahun sesudah ujicoba program menunjukkan bahwa siswa yang pernah menjadi partisipan program LINK memiliki kecenderungan rendah untuk menjadi hiperaktif, implusif, dan kehilangan konsentrasi selama berada di kelas dibandingkan dengan siswa dalam kelompok kontrol. Di samping itu mereka juga menunjukkan kecenderungan rendah untuk mengonsumsi alkohol dan/atau melakukan kenakalan remaja.

Program Fast Track/Paths

Hasil dari ujicoba program Fast Track menunjukkan tingkat efektivitas tinggi berdasarkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam aspek level emosional, ketrampilan social-coping, ketrampilan membaca, nilai akademik kesenian dan bahasa, serta keadaan lingkungan teman sepermainan yang positif. Ditemukan juga adanya peningkatan signifikan bagi orangtua ditunjukkan dengan proses keterlibatan orangtua yang hangat dan positif pada keseharian, penerapan kedisiplinan yang konsisten, keterlibatan sekolah, berkurangnya penggunaan hukuman yang sifatnya kasar, meningkatnya kepuasan dalam pengasuhan dan self-efficacy. Ditemukan juga bahwa intervensi kelas universal secara signifikan mampu memengaruhi tingkat agresivitas dan perilaku negatif kelas para partisipan program tersebut.

Program RHC (Raising Healthy Children)

Hasil dari ujicoba program RHC menunjukkan tingkat efektivitas tinggi berdasarkan adanya kecenderungan bagi kelompok eksperimen untuk lulus dari sekolah dan berhasil memperoleh pekerjaan daripada rekan mereka yang berada dalam kelompok kontrol. Para peserta SSDP juga memiliki pengendalian emosi yang lebih baik, tingkat suicidal thoughts yang rendah, serta keterlibatan yang rendah dalam aksi kenakalan remaja. Namun belum ada studi yang cukup terkait penerapan program pada populasi yang heterogen.

Program IY (Incredible Years)

Hasil dari ujicoba program Incredible Years menunjukkan tingkat efektivitas tinggi berdasarkan adanya penurunan yang signifikan oleh kelompok eksperimen pada permasalahan tingkah laku anak baik di rumah maupun sekolah, terutama ketika orangtua turut dilibatkan dalam program pelatihan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa guru yang turut terlibat dalam program Incredible Years akan cenderung mengurangi penggunaan strategi disiplin yang tidak layak atau kasar dan bersikap lebih mendidik (nurturing) daripada guru dalam kelompok kontrol. Ditemukan pula adanya perubahan signifikan terhadap perilaku orangtua dan lebih rendahnya tingkat agresivitas anak. Program ini juga ditemukan efektif pada populasi yang lebih luas, dengan budaya serta tingkat ekonomi yang berbeda.

4.    Kesimpulan:

Mengingat tingginya jumlah anak yang memiliki perilaku mengganggu serta program-program intervensi yang tidak terbukti efektif, konselor sekolah memiliki tanggung jawab untuk menemukan program yang efektif agar masalah ini dapat lekas diatasi. Tujuan artikel ini adalah menyediakan informasi bagi konselor sekolah untuk melakukan pendekatan dengan basis “bukan bekerja lebih keras melainkan bekerja dengan lebih cerdas” – dengan cara mengurangi waktu yang dihabiskan konselor untuk menangani kesulitan siswa individual dan meningkatkan kemampuan mereka untuk bekerja secara pro-aktif dan bekerjasama dengan guru dan orangtua dalam menyelesaikan permasalahan perilaku anak.

Critical Review:

Secara keseluruhan, artikel telah memenuhi standar penulisan dan menyediakan informasi yang cukup lengkap. Proses pengkategorian dan kriteria yang diajukan oleh penulis juga didukung oleh beberapa literatur lain misalnya gagasan yang menyatakan bahwa permasalahan perilaku mengganggu di ruang kelas seringkali berkaitan dengan rendahnya konsep diri sehingga untuk menangani perilaku seperti ini, anak-anak perlu dibantu dalam pembentukan konsep diri (Bidell, et al; 2010; jurnal volume 8 nomor 9) serta kriteria lain, yaitu pentingnya keterlibatan orangtua dalam membentuk lingkungan rumah yang mendukung penanganan perilaku mengganggu pada anak (Amatea, et al; 2010; jurnal volume 8 nomor 36).

Namun ada beberapa hal yang dapat menjadi isu seperti tidak tersedianya informasi kuantitatif mengenai ukuran tingkat efektivitas yang dianggap memenuhi standar. Walaupun penulis telah menyatakan bahwa keempat program yang dibahas telah memenuhi kriteria-kriteria yang diajukan, namun pembaca masih dapat mengalami kesulitan dalam membandingkan tingkat efektivitas antara keempat program tersebut. Perbedaan variasi antara keempat program ini juga masih kurang jelas sehingga kemungkinan akan mempersulit pembuatan keputusan terkait pemilihan program intervensi yang mana yang lebih tepat diterapkan dalam situasi yang sedang dihadapi dengan asumsi bahwa keempat program ini memiliki karakteristik masing-masing.