Hobby, Racauan

Pernyataan Jujur Tentangmu, Yang Terhormat

Sebut saja namanya Ibu Iffa. Beliau memberikan beberapa mata kuliah wajib dan beberapa mata kuliah pilihan di kampusku. Sekitar tiga minggu yang lalu, aku dan teman sebelahku terciduk mengobrol walaupun yang sedang kulakukan adalah menunjukkan sebuah tugas yang diupload dosen di situs akademik fakultas kepada temanku. Beliau merasa terganggu. Aku memaklumi hal itu, namun entah seberapa banyak rasionalisasi yang berusaha kulontarkan, ada sesuatu yang membuat kejadian itu terus menerus berputar di otakku.

Aku tidak merasa bersalah karena aku tidak melakukan apa yang beliau tuduhkan dan aku paham kenapa beliau dapat menuduhkan demikian. Oh, ya – dan aku ingat beliau melontarkan pendekatan psikoanalisis Freud, “Barangkali mbaknya tadi tidak bisa menghargai orang lain karena pengalaman masa lampau atau lingkungan tempat tumbuhnya.” Ouch! Yes, I feel ‘ouch!’ Tapi aku paham beliau sedang mencoba membuat contoh yang dekat agar mahasiswa lebih paham dan di sisi lain masih merasa kesal sehingga harus melampiaskannya.

Tapi kamu tahu apa yang lucu? Sepaham apapun aku, kejadian itu mengganjal di benakku. Perasaan kesal mungkin masih mengganjal karena kamu tahu kamu tidak merasa bersalah dan berarti kamu menganggap apa yang kau lakukan berbeda dengan apa yang dituduhkan, namun kamu tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan kesalahpahaman itu terjadi begitu saja.

* * *

Dua hari yang lalu, aku kembali mengikuti mata kuliah Ibu Iffa dan kebetulan beliau sedang mengadakan sesi relaksasi. Oke, aku tahu itu baik dan melegakan bagi beberapa orang, bahkan bagiku sendiri, tapi aku punya beberapa kondisi untuk bisa benar-benar melakukan relaksasi: (1) aku nyaman dan percaya dengan orang lain yang juga berada di ruangan yang sama dan (2) tidak ada perintah ataupun panduan yang diberikan dalam relaksasi. Sayangnya dua kondisi itu tidak terpenuhi, dan akhirnya aku hanya memejamkan mata kemudian membukanya kembali dalam diam.. dan melamun.

Pada sesi pertama relaksasi, Ibu Iffa turut memejamkan mata, jadi kurasa beliau tidak tahu bahwa aku tidak berkonsentrasi. Namun pada sesi kedua, aku melayangkan mataku ke arah visualisasi windows media player yang nampak pada layar LCD dan dari situ aku tahu bahwa beliau tidak memejamkan mata. Beliau kemudian berdiri dan berjalan mengitari ruangan. Aku merasa tidak nyaman karena menurutku beliau ingin semua larut dalam relaksasi.

Akhirnya aku menyerah dan memejamkan mata, namun aku tidak melakukan apa yang beliau perintahkan: “Pikirkan satu pengalaman paling menyakitkan” dan lain seterusnya. Aku hanya melamun dan berpikir bahwa daripada merasa kesal, lebih baik aku coba memahami bagaimana relaksasi ini dapat dirasa nyaman dan membantu bagi orang lain. Namun setelah 5-10 menit, aku mulai kehabisan bahan untuk kulamunkan. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ide lain yang tidak terlalu menarik buatku: tidur.

Tak lama kemudian, lampu kembali dinyalakan sebagai tanda relaksasi telah usai. Aku terbangun tepat di saat yang sama. Beberapa orang temanku mengulet ke sana kemari di tempat duduknya. Kemudian Ibu Iffa melontarkan komentar sederhana, “Beberapa orang tampaknya tidak mengikuti sesi relaksasi ..tapi tidak apa-apa.”

Mungkin ini cuma perasaanku, tapi nadanya sedikit getir. Oh, kamu menanyakan tentang ekspresi wajahnya? Serius (tentu saja karena sedang mengajar mata kuliah gitu, lho) tapi tersenyum seperti biasanya. Maka dari itulah aku bilang, barangkali cuma aku saja yang membayangkan nada getir itu.

Tapi aku heran dengan komentar itu. Wahai Ibuku yang terhormat, terlintaskah di benakmu bahwa orang tidak melakukan bisa jadi karena ia tidak mau atau ia tidak bisa? Apakah jika seseorang tidak mau, itu membuatnya bersalah? Oke, “tidak mau” berarti orang itu sadar bahwa dia punya pilihan sementara “tidak bisa” mungkin berarti “mau tapi tidak bisa”. Tapi setidaknya aku tidak melompat-lompat dan berteriak selama proses relaksasi. Kenapa kamu menginginkan semua mahasiswa dapat merasa tenang, bahagia, indah, dan ramah seperti malaikat yang manis?

Sejujurnya saja, aku melakukan relaksasi dalam bentuk yang berbeda. Kadang aku mereka ulang kejadian menyakitkan agar aku bisa menangis dengan menulis di blog atau sekadar berbaring di tempat tidur dan sebelum tidur aku menjeritkan dalam hati apa saja yang membuatku sakit. Biasanya setelahnya aku bisa menangis sepuas hati dan tidur dengan pulas.

Or ..should every person do it in particular same way?

Mungkin aku memang tidak cocok dengan kepribadian Ibu Iffa. Cara Ibu Iffa untuk rileks adalah kebersamaan sementara aku menganut paham individualis. Ibu Iffa adalah seorang psikolog dan aku tidak.

Aku menghela napas panjang.

Sejujurnya bayanganku tentang dunia kampus adalah kamu mempelajari sesuatu yang bagimu menarik. Tapi kenyataannya fakultas ini juga berusaha membentuk karakter seorang psikolog. Tapi aku kan tidak mau jadi psikolog?

Dengan kata lain, aku mungkin ingin mempelajari ilmunya, tanpa menerapkannya. Yeah, terserah kamu walau sebetulnya bagiku, kata ‘menerapkan’ tidak harus dalam koridor profesi psikolog. Selama ini aku tidak pernah membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat suka memahami orang lain, tapi aku sulit mengekspresikan diri. Oleh karena itu motifku belajar psikologi sejak awal demi kepuasanku sendiri, bukan untuk menolong orang lain.

* * *

Dan ngomong-ngomong, meskipun tidak sepenuhnya berkaitan, kurasa aku mempelajari satu lagi stereotip yang dibuat orang: “Memegang laptop pada saat perkuliahan adalah bermain laptop. Pandai dan cepat mengetik dengan 10 jari berarti sering bermain laptop. Sering bermain laptop berarti tidak terlalu memperhatikan.”

Ralat. Memegang laptop bisa berarti mencatat presentasi yang setiap slidenya kau ganti dengan cepat. Pandai dan cepat mengetik dengan 10 jari belum tentu dapat dilakukan gamer. Pada kenyataannya aku mulai terbiasa mengetik dengan 10 jari ketika pelajaran TIK di SMA mengajariku bahwa mengetik dengan 10 jari akan lebih efisien. Main game tidak membantumu lebih cepat mengetik. Dan asal kau tahu saja, aku mulai membawa laptop karena aku ingin mencatat. Jika aku mencatat dengan pena dan kertas, aku akan menggambar dan batal mencatat. Selain itu aku sangat perfeksionis sehingga aku benci melihat coretan tidak rapi pada kertas catatanku, padahal kecepatan dosen membuka slide tidak dapat kuimbangi dengan kecepatan menulisku.

Yeah, setidaknya menulis entri seperti ini membuatku merasa lebih baik.

Aku memang tahu bahwa yang namanya niat baik tidak selalu dapat dilihat orang, bahkan kadang aku sendiri gagal melihat niat baik orang. Tapi tahu fakta itu tidak membantu apapun sebelum kamu menghabiskan waktu cukup lama untuk memikirkannya.

Tiga puluh menit baru saja kuhabiskan untuk menulis entri ini.

Cukup lama untuk membuatku benar-benar memahami bahwa aku tidak melakukan kesalahan apapun dan aku tidak perlu merasa buruk karenanya. Semoga aku tidak marah lagi.

Leave a comment