To become naturally attracted to broken things, one should be one of them himself. However the truth is to naturally understand those things doesn’t necessarily require you to be one.
Saya bukan otaku, tapi saya suka membaca komik. Mungkin karena lebih suka penyampaian secara visual. Biasanya genre yang saya klik pada situs Mangareader ataupun Mangafox adalah psikologis, drama, slice of life, tragedi, misteri, seinen, josei, dan mature; dan hari ini saya nyasar ke manga yang berjudul “Lying Mii-kun and Broken Maa-chan: Precious Lies”.
Judulnya memang tidak terlalu menjual. Teknik art-nya juga standar dalam artian memiliki kualitas baik secara umum. Jadi bagaimana saya bisa nyasar dan membaca komik ini? Entahlah. Sebetulnya jika menemukan bacaan bagus, saya cenderung lebih ingin memilikinya sendiri daripada sekadar meminjam. Hanya saja sekarang novel maupun komik yang memang bagus itu cenderung susah ditemukan. Beberapa tahun terakhir saya seringkali membeli buku yang tampak bagus namun pada akhirnya saya gagal menyelesaikan dalam membacanya. Jadilah untuk mengurangi pengeluaran uang yang sia-sia, sekarang saya sering mampir ke situs-situs di internet, iseng membuka link, membaca beberapa halaman pertama, kalau menarik maka saya teruskan membaca, kalau tidak menarik maka saya menutup tab tersebut.
Menurut informasi yang saya peroleh dari beberapa thread diskusi mengenai komik ini, komik ini diangkat dari sebuah light-novel yang diangkat menjadi live-action. Novel aslinya terdiri dari 8 volume dan menceritakan kisah tentang beberapa tokoh yang memiliki masa kecil yang tidak dapat dikatakan menyenangkan. Dari total cerita yang ada dalam light-novel tersebut, yang diangkat menjadi live-action hanya 1 volume dan volume itulah yang juga dibuat versi komiknya sehingga total chapter dari komik ini berjumlah 5 chapter. Cukup singkat untuk dibaca di waktu senggang tapi waktu yang sebentar itu mampu meninggalkan kesan yang kuat, setidaknya buat saya.
Mungkin yang paling menarik adalah plot-twistnya. Narasi dari sudut pandang orang pertama yang dirancang untuk mengantar pembaca dari awal hingga akhir cerita dan membuat kita membuat asumsi tertentu sehingga ketika kenyataan cerita yang terungkap ternyata berbeda dengan asumsi kita. Hitung-hitung untuk melatih ketajaman berpikir kita dalam menyaring dan mengolah informasi yang kita terima.
* * *
Sebetulnya sejak kapan saya menjadi begini? Sejak kapan saya menjadi diri saya? Bahkan jika kita mengatakan bahwa kepribadian terus terbentuk sepanjang seorang manusia itu hidup, rasanya hal itu tetap tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa kepribadian terbentuk sejak ‘waktu tertentu’, terutama pada kasus ketika suatu kepribadian berubah. Misalnya dari periang menjadi pemurung, contoh sederhana saja.
Apa kita akan menyalahkan suatu periode ketika orang tersebut mengalami trauma yang kemungkinan besar merupakan penyebab dia menjadi pemurung? Apa kita akan menyalahkan waktu di mana orang tersebut dilahirkan karena sejatinya dia memang ‘pemurung’ – hanya kebetulan di awal kehidupan, dia sempat berada di situasi lingkungan yang dapat membuat dia bahagia?
Lama-kelamaan lebih nyaman jika sekadar memikirkan bahwa “kepribadiannya adalah demikian”‘ and that is all, without analysing it any further. After all, there’s no such particular period that should be blamed for things that have happened.
* * *
Sejujurnya ketika melihat orang-orang yang dulu sering sekadar berkunjung untuk menyapa atau berkomentar konyol kini tidak melakukannya lagi, ada perasaan aneh yang timbul.
Saya merasa geli. Tapi saya tahu apa yang sedang terjadi. Saya pun, ketika berbicara dengan orang dan menyadari bahwa kami memiliki preferensi yang berbeda, karena saya adalah orang yang tidak menyukai konflik, saya pasti akan mengurangi interaksi dengannya untuk mengurangi potensi untuk menyinggung dia. Bukan berarti saya tidak pernah menghindar atas alasan sebaliknya – untuk mengurangi potensi bagi dia untuk melukai saya. Tapi saya lebih jarang menemukan saya menghindar demi alasan ini. Ketika saya menghindar, kemungkinan saya berpikir saya tidak punya urusan dengan dia.
Jadi mereka berhenti berbicara pada saya agar mereka tidak mengganggu saya; mungkin. Ketika saya menyuarakan pikiran saya pun, mereka diam agar tidak mengganggu saya; mungkin. Walau di sisi lain, anehkah jika situasi ini tidak menyebabkan seseorang untuk berhenti terbuka pada orang lain?
Saya masih mengamati kalian. Kalian menyapa satu sama lain. Kalian berfoto bersama dalam kegiatan-kegiatan yang saya tak lagi terlibat di dalamnya.
Dan tahukah alasan yang lebih menggelikan lagi? Saya pergi karena saya tahu ketika saya memutuskan untuk pergi, inilah yang pasti terjadi. Mungkin kalau saya tidak tahu, atau lebih tepatnya, tidak memikirkan mengenai kemungkinan ini, saya pasti akan tetap berada di sana. Jadi pesimisme ini merupakan suatu kesalahan, dari perspektif kalian. Dan saya masih kolot untuk berpikir bahwa saya masih akan tetap baik-baik saja walau saya terus hidup berdampingan dengan sang pesimis.
Apa boleh buat. Bukankah seorang manusia harus menerima dan hidup berdampingan dengan dirinya sendiri kan?
* * *
Tentang conditional positive regard. Tentang bagaimana seseorang diterima hanya ketika berada dalam situasi tertentu. Hasrat dasar manusia, memang. Tapi saya pikir mereka sebetulnya telah berusaha menerapkan unconditional positive regard pada saya namun akhirnya gagal sehingga mereka menyerah.
Dan mungkin mereka juga berpikir bahwa toleransi mereka mungkin akan saya jadikan justifikasi, pembenaran, untuk terus berlaku seperti ini. Sebetulnya tidak, tapi saya memang egois – karena saya lakukan sekarang adalah menguji dengan sengaja dan mengamati sejauh apa usaha kalian, tanpa memedulikan pikiran kalian.
Saya hanya penasaran dengan apa yang dinamakan sebagai ketulusan. Sebetulnya saya tidak peduli apakah kalian bisa menolong saya keluar dari sini. Sebetulnya yang saya pedulikan adalah niat. Sayangnya pada titik kalian akhirnya menyerah, saya ternyata tidak lagi memedulikan niat kalian.
Mungkin saya pikir saya boleh berada pada posisi layaknya Tuhan: menguji, mengamati, dan memberikan penilaian.
* * *
Pada akhirnya saya akan bercerita pada diri saya sendiri. Saya akan mengeluh pada diri saya sendiri. Saya akan meminta saran pada diri saya sendiri. Sehingga saya tahu saya tidak memiliki kepribadian ganda. Saya hanya sengaja membelah diri saya, bukan menduplikasi, sebagai usaha untuk tetap berpikir jernih.
Saya tahu ada beberapa orang lain yang mengalami hal sama seperti saya. Mereka sangat mengetahui dan paham bagaimana kepribadian mereka bekerja. Dan sayangnya pengetahuan yang baik tentang diri mereka itulah yang membuat mereka tetap menjadi seorang individualis. Semakin paham mereka tentang dunia internal mereka, mereka terjebak dengan maksud baik mereka untuk tidak menyusahkan orang lain: bergantung pada diri sendiri.
Sekian.
And so, without even looking out of the window, I know I just had one beautiful evening.
Because I’ve taken one step forward by acknowledging most of my deepest fears. Even if I admit it only to myself, not to others.